-->

Ads (728x90)

Suasana pertemuan Komisi IV DPRD Pringsewu bersama manajemen Ummika Resto, perwakilan Disporapar, dan Satpol PP saat melakukan sidak terkait dugaan pelanggaran ketenagakerjaan dan perizinan, Jumat (16/5/2025). Sidak berlangsung santai tanpa tindakan tegas di lokasi. (Iwan/Realitamedia.com).

Pringsewu, Realitamedia.com – Sidak yang digelar Komisi IV DPRD Pringsewu ke Ummika Resto akhirnya menjawab satu pertanyaan publik, di pihak mana sebenarnya wakil rakyat berdiri?

Setelah berbagai laporan soal dugaan eksploitasi karyawan, gaji tidak dibayar, hingga dugaan pelanggaran perizinan, publik berharap DPRD akan datang dengan sikap tegas. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, sidak berubah menjadi forum klarifikasi ramah-tamah, penuh basa-basi, dan minim hasil.

Alih-alih menindak, DPRD malah memberi ultimatum ringan dan waktu tambahan tiga bulan bagi manajemen Ummika untuk melengkapi izin usaha yang sudah dua tahun belum lengkap.

Tiga bulan! Untuk pelanggaran yang sudah berlangsung lama, keputusan ini lebih menyerupai penghargaan, bukan teguran.

“Pihak Ummika menjelaskan mereka sudah punya NIB, AHU, dan Sertifikat Halal. Tapi kami tetap minta agar izin dari Disporapar dan lingkungan hidup segera dilengkapi,” ujar Ketua Komisi IV, Agus Irwanto, santai.

Pernyataan ini seperti mengonfirmasi bahwa DPRD Pringsewu tidak sedang menegakkan aturan, tapi sedang memfasilitasi kenyamanan pengusaha.

Publik bertanya, kenapa tidak langsung diberi sanksi? Kenapa tidak ada penutupan sementara? Bukankah izin lingkungan dan operasional adalah syarat utama sebelum membuka usaha?

Lebih parah lagi, ketika politisi Demokrat, Nurul Ikhwan, bertanya tentang izin keramaian dan lingkungan yang dijawab santai oleh owner Ummika dengan narasi klasik: “Masih proses.” Tak ada sanggahan. Tak ada tindakan.

Masalah perlakuan ke karyawan? Lagi-lagi menguap. Saat owner menyebut bahwa gaji diberikan “berdasarkan akad setelah satu bulan kerja” dan “hanya kesepakatan lisan,” DPRD seperti menelan bulat-bulat pernyataan itu, tanpa pembanding, tanpa klarifikasi ke korban, dan tanpa pendalaman.

“Kalau ada yang bilang gak digaji, itu gak benar,” kata Firli, pemilik Ummika. Dan anehnya, DPRD tak mengajukan bantahan apapun, seolah laporan para eks-karyawan sebelumnya hanya isapan jempol.

Kalau begini caranya, untuk apa DPRD melakukan sidak?

Sidak ini bahkan tak layak disebut pengawasan. Tak ada berita acara pelanggaran, tak ada catatan investigatif, dan yang lebih memalukan tak ada satu pun hasil yang berpihak pada korban.

Publik yang menyaksikan justru merasa ini adalah bentuk nyata bahwa DPRD lebih takut melukai kenyamanan pengusaha ketimbang memperjuangkan nasib pekerja kecil.

Kalau gaji tak dibayar dianggap sepele, jika izin ilegal dianggap bisa "diperbaiki nanti", maka jangan salahkan publik bila mulai mencibir: “Sidak ini cuma formalitas. DPRD bukan pengawas, tapi penjaga perasaan pengusaha.”

Sementara korban masih menunggu keadilan, wakil rakyat mereka justru sibuk beramah-tamah dan memberi waktu. Seolah lupa siapa yang mereka wakili. ( Iwan)

Posting Komentar