![]() |
Penulis : Saverius ,S.Fil.,M.M.,CT., CPS., CHTc.
(Direktur Bimbel Privata Moa Dabo Singkep)
Momentum memperingati hari Sumpah Pemuda, menghadirkan gema yang lebih dalam dari sekadar seremonial atau nostalgia sejarah. Ikrar yang didengungkan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” tak hanya kalimat sakral, melainkan ungkapan kesadaran diri kolektif yang menjadi sebuah loncatan eksistensial bangsa Indonesia yang lahir dari perenungan dan keberanian.
Apabila dikaji dalam perspektif filsafat modern, peristiwa 28 Oktober 1928 adalah bentuk kesadaran otentik. Martin Heidegger menyebut bahwa manusia autentik sebagai "Dasein" yang sadar akan keberadaannya dan memilih keluar dari “kejatuhan” (fallenness) menuju keberadaan yang bermakna.
Para pemuda waktu itu menolak hidup dalam keterasingan kolonial lalu memilih “mengada” sebagai bangsa yang bebas dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Edmund Husserl, berpandangan bahwa Sumpah Pemuda mencerminkan kesadaran transendental yaitu kesadaran murni yang menyingkap makna pengalaman bersama.
Saat pemuda dari berbagai daerah mengikrarkan persatuan, mereka melampaui sekat etnis menuju "intersubjectivity" kesadaran bahwa identitas bangsa lahir dari perjumpaan “aku” dan “yang lain.” Dengan demikian, Sumpah Pemuda adalah fenomena kesadaran kolektif yang melahirkan “kita” sebagai Indonesia.
Disisi lain Immanuel Kant melihat moralitas sebagai wujud imperatif kategoris yakni bertindaklah menurut prinsip yang dapat dijadikan hukum universal. Pemuda Indonesia bertindak bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran moral bahwa kebebasan adalah nilai universal yang mesti diperjuangkan oleh setiap manusia rasional. Sumpah Pemuda menjadi tindakan etis bukan sekadar politik karena lahir dari kehendak moral yang otonom.
Pemuda Indonesia tidak menunggu makna “Indonesia” didefinisikan oleh penjajah melainkan menciptakannya. Eksistensi bangsa ini lahir dari keberanian memilih, bukan dari penantian. Maka, kebebasan menjadi dasar eksistensial yang melahirkan tanggung jawab historis. selaras dengan pandangan Jean-Paul Sartre, bahwa Sumpah Pemuda adalah perwujudan dari gagasan eksistensi mendahului esensi.
Peristiwa 1928 bisa dibaca sebagai proses dialektika yakni keragaman etnis (tesis) bertemu penindasan kolonial (antitesis) dan melahirkan sintesis berupa persatuan nasional. Kesadaran ini merupakan gerak "Geist" (roh bangsa) menuju kebebasan sejati, sebagaimana terungkap dalam kerangka G.W.F. Hegel.
Peristiwa tersebut hampir seabad, tantangannya bukan lagi kolonialisme fisik, melainkan kolonialisme digital, disinformasi, tribalitas politik, dan krisis nilai.
Semangat Sumpah Pemuda harus kita hidupkan sebagai proyek kesadaran perjuangan terus-menerus untuk menjadi bangsa yang berpikir kritis, solider, dan otentik dalam dunia yang terfragmentasi.
Manusia sejati adalah mereka yang “mengada dalam kemungkinan.” Maka, pemuda sejati hari ini bukan hanya yang bangga dengan masa lalu, tetapi yang berani mencipta masa depan, berpikir dengan akal, bertindak dengan hati, dan hidup dalam kesadaran.
Sumpah Pemuda adalah cermin dari perjalanan panjang menjadi manusia Indonesia yang otentik, sadar, bebas, dan bertanggung jawab atas makna keberadaannya di tengah dunia yang terus berubah, sehingga sumpah pemuda tak hanya bergaung sebagai romantisme historis belaka.

Posting Komentar