Penulis : Saverius, S.Fil.,M.M.,CT.,CPS.,CHTc.
(Direktur Bimbel Privata Moa-Dabo Singkep)
Tata susila pendidikan merupakan fondasi normatif yang menuntun praksis pedagogis agar tidak terjebak pada reduksionisme instrumental.
Horizon filsafat, membentangkan pendidikan sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari dimensi aksiologis. Pendidikan bukan sekadar "transfer of knowledge" tetapi juga "transformation of being".
Tata susila pendidikan mengejawantahkan struktur normatif yang mengarahkan praksis pedagogis agar berakar pada martabat manusia. Paulo Freire,menegaskan bahwa “Education is an act of love, and thus an act of courage”. Oleh sebab itu, pendidikan harus dibangun di atas prinsip moral humanizing education.
Paradigma Aristotelian menempatkan tujuan pendidikan dalam kerangka "areté" (kebajikan) demi mencapai "eudaimonia" (kehidupan bermakna).
Aristoteles mengatakan bahwa “Educating the mind without educating the heart is no education at all”. Dalam kerangka ini, etika dipahami sebagai "phronesis" kebijaksanaan praktis yang mengarahkan tindakan moral secara deliberatif.
Guru dipandang sebagai "exemplar moral" yang menuntun proses habituasi kebajikan melalui keteladanan dan praksis hidup.
Sejalan dengan itu pendekatan deontologis yang dijabarkan oleh Immanuel Kant, berpijak pada prinsip imperatif kategoris yakni “Act only according to that maxim whereby you can at the same time will that it should become a universal law”.
Dalam konteks pendidikan, relasi guru dan peserta didik harus dilandasi penghormatan terhadap otonomi moral (homo noumenon).
Tata susila pendidikan tidak boleh menjadikan peserta didik sebagai objek manipulatif, melainkan subjek rasional yang dihargai martabatnya.
Merujuk pada perspektif eksistensialis bahwa makna tata susila pendidikan sebagai praksis kesadaran eksistensial. Sartre menegaskan, “Man is condemned to be free”, kebebasan menjadi kodrat ontologis manusia. Pendidikan dalam kerangka ini mendorong individu untuk mengafirmasi kebebasan, refleksi diri, dan tanggung jawab moral atas pilihannya. Guru bukan sekadar agen instruksi, melainkan fasilitator pembentukan "authentic existence".
Selaras dengan itu, pendekatan kritis yang dilakukan oleh Habermas ialah bahwa rasionalitas komunikatif sebagai basis etika sosial. “The validity of norms arises through communicative action”. Pendidikan idealnya menjadi ruang diskursus yang bebas dominasi (herrschaftsfrei), di mana peserta didik dan pendidik membangun intersubjektivitas melalui dialog rasional.
Tata susila di sini bukan dogma, melainkan konsensus yang terbentuk secara komunikatif.
Tata susilah filosofis pendidikan merupakan inti praksis pedagogis yang humanistik dan reflektif. Dengan mengintegrasikan pendekatan teleologis, deontologis, eksistensialis, dan kritis, pendidikan dapat berfungsi sebagai medan pembentukan subjek moral yang otonom, rasional, dan beradab.
Dalam fenomena sosial yang terjadi saat ini Tata susila pendidikan menjadi keharusan filosofis untuk menciptakan masyarakat yang berkeadaban (civitas moralis).
Posting Komentar