![]() |
| Ilustrasi Seorang Guru (Foro : Ist/Realitamedia.com) |
Penulis : Rika Apriati Ningsih, S.Pd., M.Pd (Principal Bimbel Privata Moa)
Ada banyak harapan dan keinginan yang kadang perjalanannya tak semudah apa yang telah direncanakan. Sejatinya kita memang hanya berencana, karena sesungguhnya takdir itu sudah menjadi suratan.
Tapi Tuhan Maha baik, seperti namanya At-Thayyib (Maha baik), takdir memang tidak akan berubah, namun ikhtiar dan doa akan memudahkan jalan kita menggapai keinginan yang mungkin jauh dari rencana takdir.
Ada banyak takdir yang membawa orang kesuatu profesi yang disebut guru. Katanya guru itu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, sang penyair Iwan Fals mengabadikannya lewat lagu “Oemar Bakri”, kata pak mentri “Kalau mau kaya jangan jadi guru, tapi jadi pedagang saja”, apa istimewanya profesi ini ?
Stigma yang ditanamkan selama ini tentang profesi guru memang lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat sederhana (tidak bonafit). Istilah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa mengarah kepada pemikiran yang skpetis dengan pandangan “guru tidak perlu sejahtera” yang penting pengabdian karena profesi ini dianggap amal jariyyah.
Kenyataannya stigma yang cukup lama digaungkan ini membuat talenta-talenta baru enggan memilih profesi guru. Dengan anggapan jadi guru tidak bisa kaya, tidak sejahtera, tidak memiliki prestise dibanding profesi lainnya. Sehingga profesi ini akan menjadi pilihan terakhir kalau sekiranya tidak ada lagi pekerjaan lain yang bisa dipilih setelah lulus jadi sarjana. Kalau demikian yang tertanam dipikiran banyak orang, masih maukah anda menjadi seorang guru?
Kita sama-sama tahu guru adalah pilar utama dalam sistem pendidikan, yang berperan sebagai pendidik, motivator, dan pembentuk karakter generasi muda. Walaupun kurikulum didesain dengan begitu kompleks, disesuaikan dengan perkembangan zaman serta kemajuan teknologi informasi, namun tidak bisa menggantikan peran seorang guru dalam menghadirkan pendidikan yang berkualitas.
Semua elemen harus kompatibel, guru harus memenuhi kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru professional. Empat kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru diantaranya, kompetensi pedagogi, kompetensi professional (bidang keilmuan), kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian.
Namun, meskipun peran mereka sangat vital, kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi isu yang sering diabaikan. Padahal, kesejahteraan guru tidak hanya menyangkut gaji, tetapi juga mencakup aspek psikologis, sosial, dan profesional.
Kesejahteraan guru memainkan peran penting dalam menentukan kualitas pendidikan. Guru yang sejahtera memiliki motivasi lebih tinggi untuk mengajar, yang berdampak positif pada hasil belajar peserta didik. Penelitian oleh Nawawi (2022) menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara kesejahteraan guru dan efektivitas pengajaran di kelas.
Guru yang merasa dihargai dan didukung cenderung lebih kreatif dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang interaktif dan inovatif. Kesejahteraan juga berkaitan dengan kemampuan guru untuk terus belajar dan berkembang.
Guru yang mendapatkan akses ke pelatihan profesional secara rutin dapat mengikuti perkembangan kurikulum dan teknologi pendidikan. Hal ini sangat relevan di era digital, di mana metode pembelajaran terus berkembang.
Di Indonesia, ada dua kategori guru, yaitu guru Aparatur Sipil Negara (PNS/PPPK) dan guru swasta. Keduanya memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, hanya saja perbedaannya pada status kepegawaian, gaji, tunjangan, fasilitas, dan lingkungan kerjanya.
Sementara untuk bagian pekerjaan, semua kategori guru harus bekerja secara maksimal, karena memiliki tanggung jawab yang tinggi yaitu mencerdaskan bangsa. Hal ini akan sulit dilakukan dengan hati yang tenang jika gaji yang diberikan tidak seimbang dengan apa yang para guru lakukan setiap harinya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan menyebutkan bahwa total anggaran kesejahteraan guru pada 2025 naik Rp 16,7 triliun dari tahun 2024. Jumlah Anggaran tunjangan guru ASN dan non ASN dimuat dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincia pada 2025 naik Rp 16,7 triliun dari tahun 2024. Jumlah Anggaran tunjangan guru ASN dan non ASN dimuat dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025. Berdasarkan hal tersebut, dana gaji guru PNS dan tunjangan ASN daerah ditetapkan Rp 70 triliun. Sedangkan layanan pembiayaan kesejahteraan guru non ASN sebesar Rp 11,5 triliun.
Berdasarkan catatan yang dimiliki oleh pemerintah, ada 1.932.666 guru bersertifikat pendidik pada 2025 yang akan menerima tunjangan kesejahteraan ini.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyatakan, angka tersebut meningkat 650 dari tahun sebelumnya, 2024. Hasan mengatakan jumlahnya akan ditingkatkan pada tahun-tahun yang akan datang. Pemerintah berupaya meningkatkan layanan pendidikan yang lebih bermutu dan merata. Pada tahun 2025 ini telah mengalokasikan dana sebesar senilai 17,1 triliun rupiah untuk melakukan renovasi 10.440 sekolah negeri dan swasta. Dana ini akan dikirim langsung ke sekolah-sekolah secara transfer tunai.
Bagaimana dengan guru honorer? Guru honorer, adalah salah satu pilar utama pendidikan di Indonesia, terutama di daerah pelosok yang kekurangan tenaga pendidik. Namun, meskipun pengabdian mereka sangat besar, kesejahteraan guru honorer hingga saat ini masih jauh dari kata layak. Ratusan ribu guru honorer di seluruh Indonesia menerima upah yang rendah dan bekerja dalam kondisi yang sering kali kurang memadai.
Sebagai sebuah profesi, menjadi guru diyakini sebagai mata pencarian yang secara sosial-budaya terhormat dan secara ekonomi mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari. Namun demikian, hal tersebut tampaknya belum dirasakan oleh para guru yang masih memiliki status sebagai guru honorer. Nasib guru terus menjadi perbincangan hingga saat ini, bahkan perbedaan gaji guru honorer dan guru PNS sangat jauh berbeda.
Berdasarkan data, pendataan guru PNS jauh lebih besar. Hal ini disebabkan oleh banyak tunjangan yang didapatkan oleh guru dengan status PNS. Sedangkan guru honorer tidak mendapatkan tunjangan dan hanya menerima gaji pokok saja, mendapat tunjangan hanya jika dapat tugas di luar jam mengajar.
Permasalahan guru honorer itu tercipta karena tidak adanya rancangan induk pemerintah tentang guru. Guru banyak yang pensiun tapi sedikit yang direkrut hal tersebut tentu menciptakan bom waktu. Guru honorer sangat dibutuhkan dibanyak sekolah dan diberbagai daerah karena tingginya angka guru PNS yang memasuki masa pensiun tidak berimbang dengan jumlah penggantinya.
Banyak guru honorer yang berharap pemerintah dapat mempertimbangkan guru honorer yang telah lama mengabdikan diri, belasan hingga puluhan tahun, agar mendapatkan prioritas menjadi aparatur sipil negara (ASN). Ketidakpastian status mereka menyebabkan minimnya perlindungan sosial, seperti tunjangan kesehatan, pensiun, dan hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh pegawai negeri.
Peneliti lembaga riset Institute For Demographic And Poverty Studies (IDEAS), menyatakan hasil survey dari 403 responden guru menyebutkan , bahwa 42% guru memiliki penghasilan di bawah dua juta Rupiah per bulan dan 13% di bawah 500.000 Rupiah per bulan. Oleh karena itu banyak dari mereka memutuskan untuk mengambil penghasilan tambahan demi menutupi kekurangan kebutuhan hidup. Dari survei ini juga terlihat 55,8% guru memiliki penghasilan tambahan dari pekerjaan nya. Dengan gaji perbulan kurang lebih tiga ratus ribu rupiah, guru dituntut untuk melakukan berbagai pekerjaan seperti mengajar sebagai tugas pokok, administratif, akreditasi, asesmen, pelatihan kompetensi guru, dan berbagai kegiatan diluar kegiatan belajar mengajar seperti menjadi pembina ekstrakurikuler. Hal tersebut memunculkan sebuah pertanyaannya apakah cukup dengan gaji sekian untuk menghidupi diri atau bahkan keluarga dalam satu bulan?
Kurangnya kesejahteraan guru honorer adalah isu yang kompleks dan mendalam, mencerminkan masalah struktural dalam sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer seringkali menjadi tulang punggung pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil di mana jumlah guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) terbatas. Namun, peran besar mereka tidak sebanding dengan perlakuan dan penghargaan yang mereka terima.
Kurangnya kesejahteraan guru honorer bukan hanya sebuah masalah sosial, tetapi juga cerminan dari kegagalan sistemik pemerintah dalam menghargai dan memprioritaskan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Isu ini menunjukkan bagaimana kebijakan pendidikan kerap didesain dengan pendekatan birokratis yang tidak menyentuh kebutuhan mendasar para pelaku di lapangan, termasuk guru honorer yang seharusnya menjadi ujung tombak pembelajaran. Status guru honorer yang tidak diakui secara penuh oleh sistem adalah masalah struktural yang mengakar. Mereka sering kali dianggap sebagai tenaga kerja murah untuk mengisi kekosongan guru PNS, tetapi tidak diberikan hak dan perlindungan yang layak. Ketidakjelasan status ini membuat mereka rentan terhadap eksploitasi, pemecatan sepihak, dan minimnya akses terhadap program kesejahteraan seperti asuransi kesehatan atau pensiun.
Minimnya Representasi guru honorer seringkali tidak memiliki wadah representasi yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Serikat guru atau organisasi profesi guru sering kali lebih fokus pada kepentingan guru PNS, sementara guru honorer dibiarkan berjuang sendiri. Pemerintah juga tampak kurang mendengar aspirasi mereka, yang terlihat dari minimnya dialog terbuka yang melibatkan perwakilan guru honorer dalam pengambilan kebijakan terkait pendidikan.
Retorika pemerintah tentang peningkatan kualitas pendidikan terasa hampa tanpa langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer. Bagaimana mungkin kita berharap mutu pendidikan meningkat jika para pengajarnya dibiarkan berjuang untuk bertahan hidup? Investasi dalam pendidikan tidak bisa hanya berupa infrastruktur fisik atau kurikulum yang berganti-ganti. Peningkatan kesejahteraan guru, termasuk guru honorer, harus menjadi prioritas utama.
Kritik tajam harus diarahkan kepada pemerintah pusat dan daerah yang selama ini saling melempar tanggung jawab terkait kesejahteraan guru honorer. Masalah ini membutuhkan keberanian politik untuk membuat perubahan mendasar, seperti alokasi anggaran pendidikan yang lebih besar untuk menggaji guru honorer secara layak dan memperbaiki sistem rekrutmen agar lebih inklusif. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan ketidakadilan ini berlangsung dan pada akhirnya, menghancurkan harapan akan pendidikan yang bermutu dan merata di Indonesia.
Kesejahteraan guru honorer di Indonesia masih menjadi isu besar yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Terlepas dari apa yang mereka alami, guru honorer memiliki kontribusi besar terhadap pendidikan Indonesia. Kesejahteraan guru yang layak akan sangat mempengaruhi kualitas pendidikan yang diberikan kepada peserta didik dan masa depan generasi penerus bangsa. Masalah kesejahteraan guru honorer bukanlah persoalan teknis belaka, melainkan masalah moral dan politik yang memerlukan keberanian pemerintah untuk bertindak tegas dan berpihak pada keadilan. Jika tidak segerah diselesaikan, krisis ini akan terus menjadi noda hitam dalam perjalanan pembangunan pendidikan di Indonesia

Posting Komentar