Filsafat pendidikan dan psikologi perkembangan selalu berbicara tentang perkembangan kognitif anak.
Pola didik, atau cara orang tua maupun pendidik dalam membimbing anak, memiliki korelasi erat dengan kualitas pertumbuhan intelektual, emosional, dan moral anak.
Seorang tokoh besar dalam psikologi perkembangan,Jean Piaget, menegaskan bahwa kognisi anak berkembang melalui tahapan-tahapan dari sensor motorik hingga operasional formal yang menuntut stimulasi lingkungan secara tepat.
Pola didik yang adaptif akan mempercepat internalisasi skema kognitif, sedangkan pola didik yang represif cenderung membatasi proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan.
Dalam perspektif filsafat pendidikan, John Dewey memandang pendidikan sebagai proses rekonstruksi pengalaman yang berkelanjutan.
Dengan demikian, pola didik bukan hanya sekadar teknik mengajar, melainkan praksis yang sarat nilai, yang menentukan bagaimana seorang anak menafsirkan dunia.
Jika orang tua menanamkan pola didik yang demokratis akan memberi ruang dialog, kebebasan berpikir, dan partisipasi, anak akan mengembangkan otonomi intelektual sebagaimana dicita-citakan oleh Immanuel Kant dalam konsep sapere aude (beranilah berpikir sendiri).
Sebaliknya, pola didik yang otoriter cenderung menumbuhkan heteronomi moral di mana anak bergantung pada aturan eksternal tanpa pemahaman kritis. Dari sisi psikologi, pendekatan ini seringkali menekan perkembangan fungsi eksekutif otak yakni kemampuan merencanakan, mengingat, dan mengambil keputusan.
Menurut Lev Vygotsky anak membutuhkan scaffolding atau penyangga dari lingkungan sosial untuk mendorong zona perkembangan proksimalnya.
Pola didik yang dialogis dan suportif akan memperluas kapasitas kognitif melalui interaksi simbolik dan bahasa.
Dalam filsafat eksistensialisme, Kierkegaard juga memberi warna dalam memahami pengaruh pola didik. Menekankan pentingnya kebebasan individu dalam menemukan dirinya. Pola didik yang mengekang kebebasan anak berpotensi melahirkan individu yang teralienasi dari potensi autentiknya. Sementara itu, pola didik yang mengakui kebebasan anak justru menumbuhkan kesadaran diri (self-awareness) yang lebih matang.
Dalam ranah psikologi humanistik, Carl Rogers menyebut hal ini sebagai unconditional positive yakni penerimaan tanpa syarat yang memungkinkan anak mengaktualisasikan dirinya secara optimal.
Tidak kalah penting, pola didik yang sehat juga berperan dalam membangun literasi emosional dan moral anak. Lawrence Kohlberg menunjukkan bahwa perkembangan moral berjalan seiring dengan perkembangan kognitif.
Anak yang terbiasa dilibatkan dalam diskusi etis dan refleksi kritis akan lebih mampu mengambil keputusan moral berdasarkan prinsip universal, bukan sekadar kepatuhan pada otoritas.
Dengan demikian, pola didik adalah medan praksis yang menentukan kualitas perkembangan kognitif anak. Dari perspektif filsafat, ia adalah refleksi atas nilai-nilai yang kita pilih untuk diwariskan. Dari sisi psikologi, ia adalah mekanisme stimulasi yang membentuk struktur mental anak.
Maka, tantangan terbesar bagi orang tua dan pendidik zaman kini adalah merancang pola didik yang integratif: demokratis namun terarah, bebas namun bertanggung jawab, rasional namun tetap menjiwai nilai-nilai etis.
Konklusinya bahwa perkembangan kognitif anak tidak dapat dipisahkan dari ekologi pendidikan yang ia alami di rumah, sekolah, dan masyarakat. Dengan pola didik yang bijaksana, anak bukan hanya menjadi cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral, emosional, dan spiritual. Itulah esensi pendidikan sebagai upaya membentuk manusia seutuhnya atau homo sapiens et humanus.
Penulis : Saverius, S.Fil.,M.M.,CT.,CPS.,CHTc.
(Direktur Bimbel Privata Moa Dabo Singkep)
Posting Komentar