-->

Ads (728x90)

Share Artikel ini | Redaksi News Selasa, November 11, 2025 A+ A- Print Email

 


Oleh : Saverius, S.Fil,M.M,CT,CPS,CHTc  (Direktur Bimbel Privata Moa Dabo Singkep)


Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hari Pahlawan selalu diperingati dengan upacara, dan berbagai ritual formalistik yang telah menjadi tradisi. Realitas ini memantik pertanyaan filosofis, apakah nasionalisme yang kita rayakan hari ini sungguh telah menyentuh dimensi substansial,  atau sekadar berhenti pada level seremoni simbolik ?

Perspektif  filsafat politik mengetengahkan bahwa nasionalisme tidak boleh hanya menjadi rhetorical nationalism tetapi miskin praksis dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kenyataan sosial, nasionalisme kerap terjebak pada symbolic compliance yakni kepatuhan simbolik pada tradisi tanpa internalisasi nilai. Upacara bendera, slogan heroisme, dan pengagungan pahlawan sering hanya menjadi ritual performatif, bukan praksis etis.

Jika melihat perspektif  filsafat moral, Immanuel Kant menekankan pentingnya moralitas berbasis categorical imperative, yakni bertindak berdasarkan prinsip universal yang bermartabat. 

Nasionalisme substansial dalam konteks ini seharusnya menjadi moralitas kebangsaan yang diwujudkan secara etis dalam tindakan nyata seperti kejujuran sosial, integritas publik, dan penghormatan terhadap martabat manusia. 

Nasionalisme tidak cukup hanya diekspresikan melalui simbol, tetapi harus hadir sebagai kesadaran etis kolektif.

Salah seorang pahlawan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara, menegaskan bahwa nasionalisme harus berakar pada budi pekerti dan kesadaran kebangsaan yang memerdekakan. Dan menolak nasionalisme kosong yang hanya menuntut loyalitas emosional tanpa kecerdasan moral. 

Gagasan tersebut relevan dengan konteks kekinian, di mana nasionalisme sering kali diglorifikasi hanya saat upacara atau momen perayaan namun tidak diterjemahkan dalam perilaku. Ketika korupsi, politisasi identitas, intoleransi, dan degradasi etika publik masih marak, bukankah itu menunjukkan bahwa nasionalisme aru pada taraf seremonial?

Nasionalisme substansial menuntut civic virtue kebajikan kewargaan yang mendorong partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa. 

Dalam kerangka teori sosial Jurgen Habermas, penting dikedepankan constitutional patriotism atau patriotisme konstitusional, yakni cinta tanah air yang diwujudkan melalui penghormatan pada hukum, demokrasi deliberatif, dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Nasionalisme model ini lebih inklusif, rasional, dan etis dibanding nasionalisme yang eksklusif dan emosional.

Pada era digital saat ini, bentuk baru nasionalisme menuntut critical consciousness (kesadaran kritis). 

Masyarakat luas hendaknya mampu menafsir ulang nilai kepahlawanan dalam konteks kontemporer, melawan hoaks, merawat toleransi, memberdayakan ekonomi lokal, berkarya inovatif, dan menjaga integritas di ruang publik. Kepahlawanan masa kini tidak lagi hanya bertempur dengan senjata, tetapi melalui perjuangan menjaga kebenaran, keadilan, dan martabat bangsa dalam kompleksitas dunia modern.

Dengan demikian hendaknya Hari Pahlawan seharusnya menjadi momen refleksi transformatif. Dimana dengan kesadaran  melakukan reorientasi nasionalisme dari seremonial menuju substansial, dari simbol ke etika, dari upacara ke aksi, dari retorika ke karakter. 

Nasionalisme sejati adalah praksis keberpihakan pada kemajuan bangsa melalui tindakan konkret yakni menjadi warga yang jujur, adil, peduli, produktif, dan berintegritas. Inilah bentuk penghormatan paling autentik kepada para pahlawan dengan melanjutkan perjuangan mereka melalui kontribusi nyata di zaman ini.


Posting Komentar